21/03/11

Sejarah Kemajuan, Kemuduran, Dan Kebangkitan Dunia Islam

A. Kemajuan Dunia Islam
a) Dinasti Umayah (661-750 M)
Bani Umayah adalah keturunan Umayah bin Abdul Syams, salah satu suku Quraisy. Dalam sejarah Islam Bani Umayah mendirikan dalam dua periode: Damascus dan Cordoba.
Dinasti umayah dimulai dengan naiknya Muawiyah sebagai khalifah pada tahun 661 M. Bani Umayah berhasil mengokohkan kekhalifahan di Damascus selama 90 tahun (661 – 750).
Penyebutan ”Dinasti” pada kekhalifahan Bani Umayah karena Muawiyah mengubah sistem suksesi kepemimpinan dari yang bersifat demokratis dengan cara pemilihan kepada yang bersifat keturunan.
Muawiyah berhasil memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan menaklukkan seluruh Imperium Persia dan sebagian Imperium Bizantium. Bahasa Arab menjadi bahasa administrasi secara resmi disamping bahasa bangsa-bangsa yang bersatu. Dan dari persatuan berbagai Bangsa di bawah naungan Islam lahirlah benih-benih kebudayaan Islam yang baru. Kemajuan-kemajuan diberbagai bidang mulai diraih kekhalifahan Islam diantaranya adalah:

  • Bidang ekspansi wilayah
  • Bidang bahasa dan sastra Arab
  • Bidang pembangunan fisik sarana prasarana penunjang kebudayaan dan pemerintahan seperti masjid-masjid, istana-istana peristirahatan.
Sesungguhnya di masa ini gerakan-gerakan ilmiyah telah berkembang pula, seperti dalam bidang keagamaan, sejarah dan filsafat.
Kekuasaan dan kejayaan Dinasti Bani Umayah  mencapai puncaknya di zaman al-Walid. Sesudah itu kekuasaan mereka menurun. Terlalu banyak faktor yang harus mereka hadapi untuk bisa terhindar dari kehancuran. Gaya hidup mewah (hubuddunya) jauh dari gaya hidup Islami dikalangan keluarga para khalifah. Faktor ini turut memperlemah jiwa dan vitalitas keluarga dan anak-anak khalifah, sehingga mereka kurang sanggup memikul beban pemerintahan yang demikian besar. Disamping faktor ini telah menimbulkan ketidakpuasan dikalangan orang saleh. Faktor Ketidakadilan, dan masih banyak lagi faktor lainnya.
Pada awal abad ke-8 (720 M) sentimen anti-pemerintahan Bani Umayah telah tersebar secara intensif. Kelompok yang merasa tidak puas bermunculan. Rongrongan Khawarij dan Syi’ah yang terus-menerus memandang Bani Umayah sebagai perampas khilafah.
Gerakan oposisi yang pertama-tama dinamakan Hasyimiyah dan kemudian Abbasiyah dipimpin oleh Muhammad bin Ali. Gerakan ini mendapat dukungan terbesar dari orang-orang khurasan yang merupakan basis partai Ali. Di bawah pimpinan panglimanya yang tangkas, Abu Muslim al-Khurasani, gerakan ini dapat menguasai wilayah demi wilayah kekuasaan Bani Umayah. Pada Januari 750 Marwan II, Khalifah terakhir Bani Umayah, dapat dikalahkan di pertempuran Zab Hulu, sebuah anak Sungai Tigris sebelah timur Mosul. Ia kemudian melarikan diri ke Mesir. Sementara itu, pasukan Abbasiyah membunuh semua anggota keluarga Bani Umayah yang berhasil mereka tawan. Ketika mereka mencapai Mesir, sebuah kesatuan menemukan dan membunuh Marwan II pada Agustus 750. Maka berakhirlah kekuasaan Bani Umayah di Damaskus. Namun satu-satunya anggota keluarga Bani Umayah, Abdurrahman (cucu Hisyam), berhasil meloloskan diri ke Afrika Utara, kemudian menyeberang ke Spanyol. Disinilah selanjutnya ia membangun kekuasaan Dinasti Bani Umayah yang baru dengan berpusat di Cordoba.
b) Dinasti Abasiyah (750-1258 M)
Dinasti Abbasiyah yang menguasai daulah (negara) pada masa klasik dan pertengahan Islam. Pada masa pemerintahan Abbasiyah tercapai zaman keemasan Islam. Daulah ini disebut Abbasiyah karena pendirinya adalah keturunan al-Abbas (paman Nabi SAW) yakni Abu Abbas as-Saffah. Walaupun Abu Abbas adalah pendiri daulah ini, pemerintahannya hanya singkat (750 – 754). Pembina daulah ini yang sebenarnya adalah Abu Ja’far al-Mansur (khalifah ke-2). Dua khalifah inilah peletak dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah.
Para sejarawan membagi Daulah Abbasiyah dalam lima periode;
Periode Pertama (132 H – 232 H / 750 M – 847 M)
Yang membedakan antara dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayah adalah masuknya keluarga non arab ke dalam pemerintahan.
Pada periode pertama ini Daulah Abbasiyah ini pemerintahan difokuskan pada pembenahan administrasi negara ketahanan dan pertahanan. Untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur kemudian memindahkan Ibukota dari al-Hasyimiyah, dekat Kufah, ke kota yang baru dibangunnya Baghdad, pada tahun 767. di sana ia menertibkan pemerintahannya dengan mengangkat aparat yang duduk di lembaga eksekutif dan yudikatif. Dalam lembaga eksekutif ia mengangkat wazir (menteri), ia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping mengembangkan angkatan bersenjata.
Meneruskan jawatan pos yang sudah ada sejak masa Bani Umayah, dengan penambahan tugas dari selain mengantarkan surat juga untuk menghimpun seluruh informasi dari daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berlangsung dengan lancar.
Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah ini diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas as-Saffah dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya. Mulai dari masa khalifah al-Mahdi (775 – 785) hingga khalifah al-Wasiq (842 – 847). Puncak popularitas daulah ini berada pada zaman khalifah Harun al-Rasyid (786 – 809) dan puteranya al-Ma’mun (813 – 833).
Daulah ini lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Dan ini pulalah yang membedakan antara Dinasti Abbasiyah dengan Dinasti Umayah yang lebih mementingkan perluasan daerah.
Pada zaman al-Mahdi, perekonomian meningkat. Irigasi yang dibangun membuat hasil pertanian berlipat ganda dibandingkan sebelumnya. Pertambangan dan sumber-sumber alam bertambah dan demikian pula perdagangan internasional ketimur dan barat dipergiat. Basrah menjadi pelabuhan penting yang sarananya lengkap.
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada zaman Harun al-Rasyid. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat tak tertandingi.
Khalifah al-Ma’mun menonjol dalam hal gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan buku-buku dari Yunani. Filsafat Yunani yang rasional menjadikan khalifah terpengaruh dan mengambil teologi rasional Muktazilah menjadi teologi negara.
Al-Mu’tasim khalifah berikutnya (833 – 842), memberi peluang besar kepada orang Turki masuk dalam pemerintahan. Daulah Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang Muslim mengikuti perjalanan perang sudah terhenti. Ketentaraan kemudian terdiri dari prajurit-prajurit Turki yang profesional. Kekuatan militer menjadi sangat kuat, akibatnya tentara menjadi sangat dominan sehingga khalifah berikutnya sangat dipengaruhi atau menjadi boneka ditangan mereka.
1. Periode kedua (232 H – 334 H / 847 M – 945 M)
2. Periode ketiga (334 H – 447 H / 945 M – 1055 M)
3. Periode keempat (447 H – 590 H / 1055 M – 1199 M)
4. Periode kelima (590 H – 656 H / 1199 M – 1258 M)
c) Dinasti Umayah di Spanyol (757-1492 M)
Di belahan Barat (eropa) berdiri megah Khalifah Umayah di Spanyol dengan sebelumnya tentara Islam pimpinan Thariq Ibnu Ziyad  pada tahun 711 M menaklukkan kerajaan Visigothic yang diperintah oleh raja Roderick. Dalam memperluas wilayah kekuasaannya kekuatan Islam ini pada tahun 732 menyeberangi pegunungan pirenia (perbatasan Perancis), dan pastilah akan mengubah sejarah Eropa seandainya mereka tidak dikalahkan dengan menyedihkan sekali oleh Charles Mortel atau yang sering dipanggil Karel Martel.
d) Dinasti Fatimiyah (919-1171 M)
Syahruddin El-Fikriasa Kejayaan Islam (the golden age of Islam) ditandai dengan penyebaran agama Islam hingga ke benua Eropa. Pada masa itulah berdiri sejumlah pemerintah atau kekha-lifahan Islamiyah. Seperti dinasti Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, Turki Utsmani dan Ayyubiyah.
Selain penyebaran agama, kemajuan Islam juga ditandai dengan kegemilangan peradaban Islam. Banyak tokoh-tokoh Muslim yang muncul sebagai cendekiawan dan memiliki pengaruh besar dalam dunia peradaban hingga saat ini. Namun, setelah perebutan kekuasaan dan kepemimpinan yang kurang fokus, akibatnya pemerintahan Islam dikalahkan. Salah satunya adalah dinasti Fatimiyah.
Imperium Ismailiyah yang didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi ini hanya mampu bertahan selama lebih kurang dua setengah abad (909-1171 M). Ubaidillah al-Mahdi adalah pengikut sekte Syiah Ismailiyah. Dinamakan sekte Ismailiyah, karena sepeninggal Jafar As-Shadiq, anggota sekte Syiah Ismailiyah berselisih pendapat mengenai sosok pengganti sang imam (Jafar as-Shadiq). Dan Ismail selaku putra Jafar yang sedianya akan dijadikan pengganti, telah meninggal terlebih dahulu. Di saat yang sama, mayoritas pengikut Ismailiyah menolak penunjukan Muhammad yang merupakan putra Ismail. Padahal, menurut mereka masih terdapat sosok Musa Al-Kazhim yang dinilai lebih pantas memegang tampuk kepemimpinan spiritual.
Maka disaat itulah, tampil Abdullah atau Ubaidillah Al-Mahdi mengambil kepemimpinan spiritual langsung (dari jalur Ali melalui Ismail). Bersama keluarga dan para pengikutnya, Ismailiyah menyebar di wilayah Salamiyah, sebuah pusat kaum Ismailiyah di Suriah. Maka pada tahun 297 H atau 909 M, ia dilantik menjadi khalifah.
Pada masa kepemimpinannya, pemerintahan Dinasti Fatimiyah berpusat di Maroko, dengan ibukotanya al-Manshur-iyah. Dinasti Fatimiyah menjalankan roda pemerintahan di Maroko selama 24 tahun yang di pimpin oleh empat orang khalifah, termasuk Ubaidillah al-Mahdi. Tiga orang khalifah Dinasti Fatimiyah lainnya yang pernah memerintah di Maroko adalah al-Qaim (322-323 H/934-946 M), al-Manshur (323-341 H/946-952 M), dan al-Muizz (341-362 H/952-975 M).
Maka sejak saat itulah, dinasti Fatimiyah berhasil menjadi salah satu pusat pemerintahan Islam yang disegani. Puncaknya, terjadi pada masa Al-Aziz (365-386 H/975-996 M). Ia adalah putra dari Al-Muizz yang bernakma Nizar dan bergelar al-Aziz (yang perkasa). Al-Aziz, berhasil mengatasi persoalan keamanan di wilayah Suriah dan Palestina. Bahkan, pada masanya ini pula, ia membangun istana kekhalifahan yang sangat megah hingga mampu menampung tamu sebanyak 30 ribu orang. Tempat-tempat ibadah, pusat perhubungan, pertanian maupun industri mengalami perkembangan pesat.
Sementara dalam bidang pemerintahan, Khalifah al-Aziz berhasil meredam berbagai upaya pemberontakan yang terjadi di wilayah-wilayah kekuasaannya. Dinasti ini dapat maju antara lain karena didukung oleh militer yang kuat, administrasi pemerintahan yang baik, ilmu pengetahuan berkembang, dan ekonominya stabil. Namun setelah masa al-Aziz Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran dan akhirnya runtuh, setelah berkuasa selama 262 tahun.
Krisis kepemimpinan
Khalifah berikutnya setelah al-Aziz, yakni Al-Hakim (386-411 H/996-1021 M), Az-Zahir (411-427 H/1021-1036 M), Al-Mustansir (428-487 H/1036-1094 M), hingga Al-Mustali (487-495 H/1094-1101 M), tak mampu mengendalikan pemerintah seperti yang dilakukan oleh Al-Aziz.
Bahkan, krisis di antara kekuatan dalam pemerintahan Daulah Fatimiyah itu terus berlangsung paada masa al-Hafiz (525-544 H/1131-1149 M), az-Zafir (544-549 H/1149-1154 M), al-Faiz (549-555 H/1154-1160 M), dan al-Adid (555-567 H/1160-1171 M). Krisis internal itu diperparah dengan majunya tentara Salib dan pengaruh Nuruddin Zangi dengan panglimanya, Salahuddin al-Ayyubi.
Ketika khalifah al-Adid sedang sakit pada tahun 555 H/1160 M, Salahuddin al-Ayyubi mengadakan pertemuaan dengan para pembesar untuk menyelenggarakan khotbah dengan menyebut nama khalifah Abbasiyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuh dan berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah
B. Kemunduran Dunia Islam
a) Krisis dalam Bidang Sosial Politik
Awalnya adalah rapuhnya penghayatan ajaran Islam, terutama yang terjadi dikalangan para penguasa. Bagi mereka ajaran Islam hanya sekedar diamalkan dari segi formalitasnya belaka, bukan lagi dihayati dan diamalkan sampai kepada hakekat dan ruhnya. Pada masa itu ajaran Islam dapat diibaratkan bagaikan pakaian, dimana kalau dikehendaki baru dikenakan, akan tetapi kalau tidak diperlukan ia bisa digantungkan. Akibatnya para pengendali pemerintahan memarjinalisasikan agama dalam kehidupannya, yang mengakibatkan munculnya penyakit rohani yang sangat menjijikkan seperti keserakahan dan tamak terhadap kekuasaan dan kehidupan duniawi, dengki dan iri terhadap kehidupan orang lain yang kebetulan sedang sukses. Akibat yang lebih jauh lagi adalah muncullah nafsu untuk berebut kekuasaan tanpa disertai etika sama sekali. Kepada bawahan diperas dan diinjak, sementara terhadap atasan berlaku menjilat dan memuji berlebihan menjadi hiasan mereka.
”Syareat Islam adalah demokratis pada pokoknya, dan pada prinsipnya musuh bagi absolutisme” (Stoddard, 1966: 119) Kata Vambrey, ” Bukanlah Islam dan ajarannya yang merusak bagian Barat Asia dan membawanya kepada keadaan yang menyedihkan sekarang, akan tetapi ke-tanganbesi-an amir-amir kaum muslimin yang memegang kendali pemerintahan yang telah menyeleweng dari jalan yang benar. Mereka menggunakan pentakwilan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan maksud-maksud despotis mereka”.
b) Krisis dalam Bidang Keagamaan
Krisis ini berpangkal dari suatu pendirian sementara ulama jumud (konservatif) yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Untuk menghadapi berbagai permasalahan kehidupan umat Islam cukup mengikuti pendapat dari para imam mazhab. Dengan adanya pendirian tersebut mengakibatkan lahirnya sikap memutlakkan semua pendapat imam-imam mujtahid, padahal pada hakekatnya imam-imam tersebut masih tetap manusia biasa yang tak lepas dari kesalahan.
Kondisi dunia Islam yang dipenuhi oleh ulama-ulama yang berkualitas dibuatnya redup dan pudarnya nur Islam yang di abad-abad sebelumnya merupakan kekuatan yang mampu menyinari akal pikiran umat manusia dengan terang benderang.
c) Krisis bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Krisis ini sesungguhnya hanya sekedar akibat dari adanya krisis dalam bidang sosial politik dan bidang keagamaan. Perang salib yang membawa kaum Nasrani Spanyol dan serangan tentara mongol sama-sama berperangai barbar dan sama sekali belum dapat menghargai betapa tingginya nilai ilmu pengetahuan. Pusat-pusat ilmu pengetahuan baik yang berupa perpustakaan maupun lembaga-lembaga pendidikan diporak-porandakan dan dibakar sampai punah tak berbekas. Akibatnya adalah dunia pendidikan tidak mendapatkan ruang gerak yang memadai. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang ada sama sekali tidak memberikan ruang gerak kepada para mahasiswanya untuk melakukan penelitian dan pengembangan ilmu. Kebebasan mimbar dan kebebasan akademik yang menjadi ruh atau jantungnya pengembangan ilmu pengetahuan Islam satu persatu surut dan sirna. Cordova dan Baghdad yang semula menjadi lambang pusat peradaban dan ilmu pengetahuan beralih ke kota-kota besar Eropa.
C. Kebangkitan Kembali Dunia Baru Islam
Benih pembaharuan dalam dunia Islam sesungguhnya telah muncul di sekitar abad XIII Masehi, suatu masa yang pada waktu itu dunia Islam tengah mengalami kemunduran dalam berbagai bidang dengan sangat drastisnya. Ditengah-tengah kemelut yang melanda Baghdad disebabkan karena invasi yang dilakukan oleh tentara Mongol di bawah komando Hulagu Khan.
TAQIYUDIN IBNU TAYMIYAH
Lahir pada tgl. 10 Rabiul Awwal 661 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar